Sejarah
perpindahan penduduk antar pulau di Indonesia atau lebih dikenal
transmigrasi, diawali semasa pendudukan pemerintah Hindia Belanda, yang waktu
itu disebut dengan istilah kolonisasi. Sedangkan, mereka yang mengikuti program
ini disebut kolonis. Sebagian besar penduduk yang berkolonisasi berasal dari
Pulau Jawa. Penempatan pertamanya berada di Pulau Sumatera.
Program
ini dari awal dijelaskan berawal dari gagasan yang ditulis C. Th. van Deventer,
seorang politikus, anggota Raad Van Indie, berjudul “En Eereschuld” atau Hutang Budi yang dimuat dalam majalah De Gids yang terbit tahun 1899. Tulisan
tersebut membeberkan tentang kemiskinan warga di Pulau Jawa, kaitannya dengan
cultur stelsel dan pelaksanaan kerja paksa oleh pemerintah Hindia Belanda.
Van
Deventer, dalam tulisannya menghimbau agar pemerintahnya melakukan upaya-upaya
yang dapat membantu memperbaiki kehidupan rakyat, terutama di Pulau Jawa. Ia
juga menjelaskan pelaksanaan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) dan sistem liberal tahun 1870 yang dilaksanakan
pemerintah kolonial di tanah jajahannya, Hindia Belanda -- begitu sebutan
Indonesia zaman penjajahan- dinilai sebagai politik pengerukan sumber kekayaan
alam yang sangat luar biasa.
Kekayaan
alam Indonesia ,
berupa hasil rempah-rempah, tambang emas, perak, batubara, minyak bumi, hasil
pertanian dan perkebunan dari tanah jajahan Hindia Belanda telah dikeruk dan
diekploitasi. Kemudian, hasilnya dibawa ke negeri Belanda untuk dipersembahkan
kepada Sang Ratu serta pengikutnya.
Menurutnya,
semua keuntungan yang diperoleh Belanda melalui penjajahannya harus dianggap
sebagai hutang pemerintah kepada rakyat Hindia Belanda, yang kalau dihitung
besarnya tidak kurang dari 187 juta gulden. Jumlah yang terhitung tidak sedikit
untuk membayarnya. Hutang itulah yang harus dikembalikan kepada rakyat jajahan
di Hindia Belanda. Dengan cara, menyediakannya sebagai anggaran belanja bagi
rakyat jajahan.
Sebagai
seorang intelektual yang berfikir obyektif, ia telah sungguh-sungguh menyatakan
kerisauannya. Nilai-nilai kemanusiaan yang ada selama ini, dinilai telah
diabaikan sedemikian rupa oleh bangsanya sendiri, terutama akibat dari proses
penjajahan. Sementara, Belanda sendiri menyatakan dirinya sebagai bangsa yang
memiliki peradaban tinggi dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan itu.
Dari
target dan pemikiran yang dilontarkan van Deventer ,
kemudian raja di Hindia Belanda memberikan pengarahan kepada Minister van
Kolonien agar dapat menyiapkan suatu
program yang bisa memperbaiki kehidupan rakyat jajahan. Ia juga meminta agar
van Deventer
ikut serta dalam memberikan saran-saran dan pendapatnya. Program yang disusun
van Deventer
itu bagian dari upaya merealisasikan politik etika.
Tanggal
17
September 1901,
Ratu Wilhelmina yang
baru naik tahta, dalam pidatonya menegaskan pada pembukaan parlemen Belanda,
kalau pemerintahannya mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa pribumi
di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral itu ke dalam
bentuk kebijakan politik etis.
Kebijakan
yang terangkum dalam program Trias
Politika, meliputi irigasi
(pengairan); membangun serta memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan
untuk keperluan lahan-lahan pertanian, emigrasi;
mengajak penduduk untuk bertransmigrasi serta memperluas bidang pengajaran dan
pendidikan (edukasi) di bangsa
jajahannya.
Program
kolonisasi yang digagas, salah satu dari tiga program yang dicanangkan. Program
ini, sebenarnya telah mulai dibicarakan sejak pertengahan abad ke 19 Masehi.
Namun, gagasan tersebut belum dapat terealisasi, sampai akhirnya timbul
berbagai persoalan yang memicu kritikan. Berbagai kritikan mengarah kepada
penekanan terhadap pemerintah Hindia Belanda untuk membantu mengurai
permasalahan yang ada.
Kenyataan
ini, antara lain didorong dari adanya berbagai masalah yang timbul serta
meluasnya penderitaan rakyat jajahan, terutama berupa bongerudiem, yaitu suatu
penyakit yang disebabkan kekurangan gizi atau kelaparan, khususnya yang menimpa
warga di daerah Grobogan, Jawa Tengah (Jateng). Sementara, etische politic
sendiri muncul setelah banyaknya kritik yang dilontarkan terhadap kebijaksanaan
pemerintah Hindia Belanda yang justru datang dari kalangan masyarakat Belanda
sendiri.
Mengacu
kepada pokok-pokok pikiran, yang diantaranya mencakup pembangunan irigasi,
edukasi dan kolonisasi tersebut, pemerintah Belanda selanjutnya menyiapkan
program-program pembangunan, meliputi bidang pendidikan, perbaikan di bidang
produksi pertanian serta pemindahan penduduk dari Pulau Jawa ke pulau-pulau
diluar Jawa.
Untuk
menindaklanjuti rencana dan strategi yang dipandang cukup realistis itu,
selanjutnya pemerintah Hindia Belanda menugaskan H. G. Heyting, seorang asisten
residen, untuk mempelajari kemungkinan pemindahan penduduk dari Pulau Jawa ke
daerah-daerah lain yang jarang penduduknya dan dianggap potensial bagi
pengembangan usaha pertanian.
Laporan
Heyting yang diberikannya tahun 1903, menyarankan agar pemerintah Hindia
Belanda membangun desa-desa baru di luar Pulau Jawa, dengan rata-rata jumlah
penduduk sekitar 500 kepala keluarga setiap desa. Pemindahan warga disertai
pula dengan bantuan ekonomi secukupnya. Hal ini agar desa-desa baru tersebut
dapat berkembang serta memiliki daya tarik bagi pendatang-pendatang baru.
Kolonisasi,
program dari kebijakan kependudukan yang dibuat pemerintah kolonial Hindia
Belanda ini, awalnya berkaitan dengan masalah kepadatan penduduk serta
penurunan tingkat hidup penduduk di Pulau Jawa. Latar belakang dikeluarkannya
kebijakan tersebut berdasar pandangan yang menghubungkan antara pertumbuhan dan
ketersediaan pangan.
Berdasarkan
pandangan itu, diakhir abad ke 19 Masehi, Pulau Jawa telah mengalami kelebihan
jumlah penduduk disertai berkurangnya areal pertanian. Proyeksinya, bagaimana
sepuluh orang Jawa dapat bertahan hidup dengan lahan sawah yang dalam teori
hanya dapat menghidupi lima
orang. Hal tersebut tentu akan menyebabkan terjadinya penurunan tingkat dan
kualitas hidup warga.
Pandangan
yang suram terhadap kehidupan sosial dan ekonomi penduduk di Jawa ini sebenarnya
sudah dimulai sejak tahun 1880-an, terutama jika dilihat dari sektor pertanian
yang merupakan mata pencaharian utama warga setempat. Karena itu, apabila
petani tidak lagi memiliki tanah garapan, suatu musibah dan pemerintah harus
bisa memberikan perhatian terhadap persoalan ini.
Permasalahan
tersebut memang sejak tahun 1900 telah menjadi topik pembicaraan di kalangan
pemerintah dan didalam sidang-sidang yang diselenggarakan Staten Generaal.
Berbagai pembahasan kependudukan saat itu sempat terlontar. Akhirnya,
pemerintah Belanda memutuskan untuk membentuk komisi yang bertugas melakukan
penelitian mengenai penyebab penurunan kemakmuran penduduk di Pulau Jawa.
Menurut penelitian ini, sebenarnya tidak juga terjadi penurunan kualitas hidup
masyarakat di Jawa. Meskipun demikian, beban kelebihan penduduk perlu
dikurangi.
Langkah
pertama rezim pemerintahan waktu itu, awalnya dengan memindahkan penduduk dari
daerah padat penduduk, seperti di Kedu Selatan (Zuid-Kedu) ke daerah yang masih
berpenduduk jarang, seperti halnya ke Sukapura Selatan (Zuid-Sukapura) di
Priangan. Lebih lanjut, pembicaraan migrasi penduduk diperluas lagi dengan adanya
rencana memindahkan sebagian penduduk dari tanah Jawa ke pulau-pulau lain di
Hindia Belanda yang kemudian dikenal dengan kolonisasi.
Program
kolonisasi mulai dilaksanakan sejak tahun 1905 dan berlangsung sampai tahun
1940-an ini, dalam pelaksanaannya program perpindahan penduduk antar pulau itu
dapat dibedakan antara kolonisasi percobaan yang di mulai sekitar antara tahun
1905 sampai 1909 dan program kolonisasi setelah tahun 1930.
Di
masa percobaan, kolonisasi terutama antara tahun 1905–1929, agen pemerintah
masih sulit mencari penduduk desa yang bersedia mengikuti kolonisasi.
Pemerintah, harus bersaing dengan para agen tenaga kerja yang bekerja
mengerahkan penduduk desa untuk bekerja menjadi kuli kontrak. Selain itu,
agen-agen tenaga kerja yang berada di desa-desa setempat menyebarkan
desas-desus tentang keburukan situasi desa kolonisasi. Ini dilakukan agar
orang-orang Jawa tidak mau mengikuti program kolonisasi yang diselenggarakan
pemerintah.
Hal
tersebut disebabkan sebagian para pengusaha swasta Barat tidak mendukung
program kolonisasi yang dianggap akan menyebabkan mereka kesulitan dalam
perekrutan buruh. Namun sebaliknya, setelah krisis ekonomi tahun 1930, para
pengusaha mulai mendukung program kolonisasi. Perubahan terjadi terutama
disebabkan rencana penghapusan poenale
sanctie dan anjuran pemerintah untuk mengganti penggunaan kuli kontrak
dengan kuli bebas.
Kebijakan
ini, mereka yang berangkat berkolonisasi tanpa mendapat bantuan keuangan dari
pemerintah. Warga pindah hanya berharap untuk mendapatkan tanah yang luas dan
bisa bekerja membantu panen padi di sawah-sawah milik kolonis terdahulu. Sampai
tahun 1932, program kolonisasi baru yang disebut dengan sistem bawon menjadi
program resmi pemerintah.
Program
kolonisasi yang berjalan secara teratur baru dilaksanakan sejak tahun 1937,
dengan dibentuknya komisi yang khusus mengurus masalah pemindahan penduduk.
Komisi itu, bernama Komisi Pusat untuk Emigrasi dan Kolonisasi Penduduk Pribumi
(Centrale Commissie voor Emigratie en
Kolonisatie van Inheemschen).
Program
kolonisasi berjalan melalui jalur resmi, yaitu memanfaatkan lurah sebagai
sarana propaganda. Penduduk yang berminat mengikuti program kolonisasi,
mendaftar ke kantor kelurahan atau dapat langsung ke kantor kecamatan. Bagi
lurah dan camat yang dapat mengirimkan penduduknya mengikuti kolonisasi diberi
penghargaan oleh pemerintah Hindia Belanda. Untuk dapat memperoleh kepastian
penduduk benar-benar berangkat, tidak jarang para pamong desa setempat turut
mengantar warganya ke desa kolonisasi di tanah seberang.
Berbagai
cara dilakukan pemerintah Hindia Belanda untuk dapat menarik minat penduduk
mengikuti program kolonisasi, antara lain dengan melalui pemutaran film,
pemasangan berbagai poster-poster yang mengundang orang Jawa ke “Tanah Sabrang” di ruang publik, seperti
di stasiun kereta api dan kantor pegadaian. Film ini mengisahkan tentang
keberhasilan-keberhasilan para peserta kolonisasi yang telah berada tanah
seberang, dimulai dengan cara rekrutmen peserta sampai dengan terbentuknya desa
baru.
Di
daerah baru, dikisahkan setiap orang yang ikut berkolonisasi telah memiliki
rumah, lahan untuk tanah pekarangan dan areal persawahan yang subur serta dapat
menikmati wayang. Mereka merasa seperti hidup di tanah Jawa. Pemutaran film
ini, dilakukan berkeliling desa-desa di Jawa Tengah dan Jawa Timur dan diputar
di tempat terbuka. Sehingga penduduk dari desa sekitar dapat menonton.
Sesuai
dengan tujuan dari Komite Kolonisasi untuk bisa merekrut peserta orang muda,
propaganda tentang Tanah Sabrang juga dilakukan kepada murid-murid sekolah
dasar di kampung-kampung, terutama murid kelas 4 dan 5. Propaganda dilakukan
Komite Kolonisasi melalui buku-buku yang menceritakan mengenai kolonisasi,
antara lain buku karya Hardjawisastra berjudul “Bojong Menjang Tanah Sabrang”, yang diterbitkan tahun 1938 serta
buku karya Hardjawisastra dan Koesrin
berjudul “Ajo Menjang Kolonisasi” terbit tahun 1940.
Untuk
memahami orang Jawa tertarik mengikuti program kolonisasi, perlu pula dipahami
akan pentingnya tanah bagi masyarakat. Dalam konteks kebudayaan Jawa secara
keseluruhan, petani-petani dari daerah pedesaan dipandang sebagai satu golongan
yang disebut tiyang tani. Didalam kehidupan masyarakat pedesaan, terdapat
perbedaan sosial-ekonomi yang kemudian menjadi dasar pelapisan sosial.
Perbedaan
ini, secara tradisional tampak dari kepemilikan tanah dan keturunan.
Berdasarkan tanah dan keturunannya, orang Jawa waktu itu membedakan lima lapisan sosial, yaitu (1) Para
pendatang yang tidak memiliki tanah atau rumah dan karena itu disebut pondhok
(orang yang tinggal di rumah orang lain) atau glongsor diberbagai daerah di
Jawa Tengah dan Jawa Timur. (2) Penduduk desa yang tidak memiliki tanah dan
hanya memiliki rumah dengan pekarangannya yang disebut lindhung. Di daerah
Bagelen, lindhung adalah para tanggungan seorang kuli. (3) Para
pemilik tanah yang disebut kuli. (4) Para keturunan penduduk desa yang tertua
(tiyang baku ), serta; (5) Para
anggota pamong desa (prabot dhusun).
Di
pedesaan Pulau Jawa, kelompok pondhok bisa mencapai sekitar 75 sampai 80 persen
dari jumlah penduduk. Mereka biasanya
berasal dari daerah-daerah bencana alam atau seseorang yang meninggalkan
desanya karena disana terjadi eksploitasi ekonomi, tekanan politik atau masalah
sosial.
Selang
beberapa waktu, statusnya mungkin saja bisa menjadi lebih baik. Mereka mampu
membeli sebidang tanah maupun membangun rumah sendiri. Bahkan malahan,
barangkali pula memiliki sawah atau ladang sendiri dan menjadi warga golongan
sosial yang lebih tinggi.
Lindhung,
orang-orang yang hidupnya juga masih menggantungkan diri kepada orang lain.
Kelompok ini, hanya memiliki sebuah rumah dan pekarangan. Mereka tak mempunyai
sumber penghasilan lain, terkecuali mencari upahan sebagai buruh di tanah orang
lain. Kelompok lindhung, kebanyakan para pondok yang naik derajatnya.
Kelompok
ketiga terdiri dari kuli. Mereka adalah petani-petani yang menguasai sebidang
tanah milik raja atau pemerintah yang diberikan sebagai kompensasi untuk
jasanya terhadap raja atau negara. Disamping itu, para kuli juga memiliki tanah
waris dari keluarganya, tanah yang dibukanya sendiri ataupun tanah yang dibeli sendiri.
Kelompok
keempat, yaitu keluarga yang dianggap sebagai keturunan penduduk tertua desa
atau cikal bakal serta mewarisi tanahnya. Mereka mendapat sebutan tiyang baku dan berhak memiliki
tanah desa.
Sedangkan
kelompok kelima atau prabot dhusun, para anggota pamong desa yang biasanya
hanya terdiri dari beberapa keluarga saja. Mereka dikelompokkan golongan sosial
tertinggi dalam komunitas desa. Jumlah pegawai pamong desa menurut tradisi,
terdiri dari kepala desa (Kades), penulis (kaur), bendahara, pegawai keagamaan
dan juru penyiar pengumuman yang kadang juga merangkap sebagai polisi desa.
Dari
kelima kelompok ini, biasanya yang mengikuti program kolonisasi kelompok yang
berstatus rendah, yakni golongan glongsor (pondok) dan lindung serta bukan
pemilik lahan tanah maupun sawah. Dengan mengikuti program kolonisasi, mereka
akan mendapatkan tanah dan dapat langsung meningkatkan derajatnya menjadi paling
tinggi dalam masyarakat suku Jawa, yakni tiyang baku . Suatu tingkatan yang hanya dapat
dicapai para pendiri desa.
Selain
itu pula, terdapat alasan lain yang membuat seseorang pergi meninggalkan desa.
Permasalahannya bisa saja bersifat pribadi, seperti masalah rumah tangga dan
sebagainya. Dengan mengikuti program kolonisasi, satu kesempatan bagi mereka
untuk membangun hidup baru dan salah satu jalan alternatif membebaskan diri
dari pengucilan.
Pelaksanaan
program kolonisasi dari Pulau Jawa periode pertama dimulai tahun 1905-1909.
Bulan November 1905, warga yang berasal dari daerah Kabupaten Karang Anyar,
Kebumen dan Purworejo, yang kala itu termasuk dalam wilayah Keresidenan Kedu,
Jawa Tengah (Jateng), diberangkatkan menuju Gedong Tataan, sebelah barat
Tanjung Karang, dipinggir jalan menuju ke Kota Agung, sebuah daerah di
Keresidenan Lampung.
Desa
baru yang ditempati para transmigrasi itu diberi nama Bagelen, nama dari salah
satu desa di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, desa asal sebagian besar
transmigrasi tersebut. Pemilihan nama tempat ini dimaksudkan agar mereka yang
telah ditempatkan disini merasa betah ditempat baru dan seperti berada di desa
asalnya.
Dari
sisi politik, program kolonial Belanda ini memang lebih banyak menguntungkan
mereka. Namun, dalam tahapan selanjutnya menjadi bagian dari interaksi
masyarakat, perkembangan serta pembangunan di wilayah tersebut. Dengan
dibukanya desa-desa baru itu oleh warga pendatang dari Pulau Jawa, menjadikan
tempat-tempat yang menjadi objek penempatan para kolonis bertambah ramai.
Perkembangan selanjutnya, bukan hanya pertambahan jumlah penduduk, tetapi juga
akses menuju ke daerah lain juga terbuka.
Pembauran
masyarakat antara pribumi suku Lampung dan pendatang yang berkolonisasi ke
daerah ini berlangsung dinamis. Warga setempat menerima kedatangan kolonis. Hal
tersebut dibuktikan dari adanya penyerahan tanah dari penduduk pribumi Lampung
kepada kolonis selama keberlangsungan kolonisasi. Demikian pula dengan para
kolonis, dalam perkembangannya sudah menjadi bagian dari masyarakat di wilayah
itu. Interaksi tersebut terus berlangsung hingga beberapa kali pembukaan lokasi
baru disertai kedatangan kolonis di daerah-daerah penempatannya.
Areal
penempatan atau daerah kerja yang dijadikan objek-objek penempatan kolonisasi
di Lampung umumnya berasal dari tanah-tanah ulayat atau marga setempat.
Masing-masing kepala keluarga yang ditempatkan disini diberikan tanah di satu
lokasi atau lebih. Pemberian lahan kepada para kolonis ditentukan berdasarkan
letak dan batas-batasnya.
Dalam
menempatkan para kolonisasi, pemerintah kolonial Hindia Belanda sebelumnya
telah lebih dulu merencanakannya, mulai dari survei lokasi penempatan hingga
pendataan jumlah jiwa yang akan didatangkan. Demikian juga dengan tanah yang akan
diserahkan, selain melakukan pendekatan dengan tokoh adat serta masyarakat
setempat, penyerahannya juga diatur berdasarkan kebutuhan dan manfaatnya,
seperti untuk perumahan, perladangan serta lahan pertanian.
Pengaturan
objek-objek penempatan para kolonis, terutama lahan-lahan tanah, lokasi
perumahan kolonisasi maupun lahan pertanian bagi mereka, dibarengi pula dengan
dibangunnya berbagai fasilitas bagi kepentingan kolonial. Semua peruntukan
diatur serta disesuaikan dengan kegunaannya.
Program
pemerintah Hindia Belanda itu, di satu sisi mendatangkan tenaga kerja baru ke
daerah yang berpenduduk masih jarang. Sedangkan sisi lain menguntungkan pihak
kolonial, terutama terhadap pengolahan perkebunan dan pertanian milik mereka.
Kebijakan mengkolonisasikan warga Pulau Jawa ke Sumatera melalui sejumlah
tahapan. Kedatangan para kolonis itu juga dilakukan dalam beberapa tahap. Hal
ini terlihat dari jumlah dan kedatangan mereka ke daerah penempatannya. Ratusan
kepala keluarga dari tanah Jawa diberangkatkan dan ditempatkan ke Lampung untuk
berkolonisasi.
Program
ini tidak hanya berada Lampung saja. Dalam tahun-tahun berikutnya, kolonisasi
juga dilaksanakan ke daerah Bengkulu dan Sulawesi Tengah sampai akhir tahun
1930-an. Periode 1905-1942, daerah asal terbanyak dari Jawa Timur sebanyak
27.044 KK atau 90.086 jiwa dan yang terkecil dari D. I. Yogyakarta sebanyak 188
KK atau 750 jiwa. Sedangkan daerah tujuan terbanyak, yakni ke wilayah Lampung
sebanyak 44.687 KK atau 175.867 jiwa dan terkecil di wilayah Sulawesi Selatan
(Sulsel) sebanyak 137 KK atau 457 jiwa.
Daerah-daerah
tujuan kolonisasi di Indonesia secara keseluruhan, terdiri dari Provinsi
Lampung (dulunya disebut dengan Residentie
Lampongshe Districten; Keresidenan Lampung), di wilayah Gedong Tataan,
Gading Rejo, Pringsewu, Wonosobo, Sukadana, Metro, Provinsi Bengkulu (dahulunya
keresidenan) di wilayah Kepahyang (Kabupaten Rejang Lebong) serta Provinsi
Sumatera Selatan di wilayah Belitung, Tugu Mulia dan Sungai Tuna, Sumatera
Utara.
Selain
itu, ada pula kolonisasi yang ditempatkan di Pulau Bangka, Provinsi Jambi di
wilayah Batahan dan Batanghari, Kalimantan Selatan di wilayah Purwosari dan
Madurejo, Sulawesi Selatan di wilayah Kataena, Pagar Alam dan Sungai Tuka,
Sulawesi Tengah di wilayah Paria Bungi, Mapili, Tomuko, Tamuk dan Palopo,
Sulawesi Tenggara di wilayah Bangun Sari dan Tanggea.
Setelah
Indonesia
merdeka, program transmigrasi yang semasa Hindia Belanda bernama kolonisasi
dimulai kembali. Tapi dengan nama program lain. Tanggal 12 Desember 1950,
diberangkatkan sebanyak 23 KK atau 77 jiwa dari Provinsi Jawa Tengah menuju ke
Lampung. Program ini terus dikembangkan hingga dalam berbagai cara dan pola,
baik transmigrasi swakarsa, swadaya, Transpol (Transmigrasi Polisi), Transad (Transmigrasi
Angkatan Darat) dan sebagainya.
0 komentar:
Post a Comment