Kerajaan
Sriwijaya (atau juga disebut Srivijaya; Thai: ศรีวิชัย atau "Ṣ̄rī
wichạy") adalah salah satu kemaharajaan bahari yang pernah berdiri di
Pulau Sumatera dan banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah
kekuasaan berdasarkan peta membentang dari Kamboja,Thailand Selatan,
Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa Barat dan kemungkinan Jawa Tengah.
Dalam bahasa Sanskerta, sri berarti "bercahaya" atau "gemilang", dan
wijaya berarti "kemenangan" atau "kejayaan", maka nama Sriwijaya
bermakna "kemenangan yang gilang-gemilang". Bukti awal mengenai
keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta
Tiongkok, I Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan
tinggal selama 6 bulan.
Selanjutnya
prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7,
yaitu Prasasti Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh 682. Kemunduran
pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan
beberapa peperangan di antaranya tahun 1025 serangan Rajendra Chola I
dari Koromandel, selanjutnya tahun 1183 kekuasaan Sriwijaya di bawah
kendali Kerajaan Dharmasraya.
Setelah jatuh, kerajaan ini
terlupakan dan keberadaannya baru diketahui kembali lewat publikasi
tahun 1918 dari sejarawan Perancis George Cœdèsdari École française
d'Extrême-Orient. Tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya
dalam sejarah Indonesia; masa lalunya yang terlupakan dibentuk kembali
oleh sarjana asing. Tidak ada orang Indonesia modern yang mendengar
mengenai Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika sarjana Perancis George
Cœdès mempublikasikan penemuannya dalam surat kabar berbahasa Belanda
dan Indonesia. Coedès menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap
"San-fo-ts'i", sebelumnya dibaca "Sribhoja", dan beberapa prasasti dalam
Melayu Kuno merujuk pada kekaisaran yang sama.
Selain
berita-berita diatas tersebut, telah ditemukan oleh Balai Arkeologi
Palembang sebuah perahu kuno yang diperkirakan ada sejak masa awal atau
proto Kerajaan Sriwijaya di Desa Sungai Pasir, Kecamatan Cengal,
Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Sayang, kepala perahu
kuno itu sudah hilang dan sebagian papan perahu itu digunakan justru
buat jembatan. Tercatat ada 17 keping perahu yang terdiri dari bagian
lunas, 14 papan perahu yang terdiri dari bagian badan dan bagian buritan
untuk menempatkan kemudi. Perahu ini dibuat dengan teknik pasak kayu
dan papan ikat yang menggunakan tali ijuk. Cara ini sendiri dikenal
dengan sebutan teknik tradisi Asia Tenggara. Selain bangkai perahu,
ditemukan juga sejumlah artefak-artefak lain yang berhubungan dengan
temuan perahu, seperti tembikar, keramik, dan alat kayu.
Sriwijaya
menjadi simbol kebesaran Sumatera awal, dan kerajaan besar Nusantara
selain Majapahit di Jawa Timur. Pada abad ke-20, kedua kerajaan tersebut
menjadi referensi oleh kaum nasionalis untuk menunjukkan bahwa
Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelum kolonialisme Belanda.
Sriwijaya
disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebutnya
Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts'i atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sanskerta
dan bahasa Pali, Kerajaan Sriwijaya disebut Yavadesh dan Javadeh. Bangsa
Arab menyebutnya Zabaj dan Khmer menyebutnya Malayu. Banyaknya nama
merupakan alasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan.
Sementara dari peta Ptolemaeus ditemukan keterangan tentang adanya 3
Pulau Sabadeibei yang kemungkinan berkaitan dengan Sriwijaya.
Sekitar
tahun 1993, Pierre-Yves Manguin melakukan observasi dan berpendapat
bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan
Sabokingking (terletak di Provinsi Sumatera Selatan sekarang), tepatnya
di sekitar situs Karanganyar yang kini dijadikan Taman Purbakala
Kerajaan Sriwijaya. Pendapat ini didasarkan dari foto udara tahun 1984
yang menunjukkan bahwa situs Karanganyar menampilkan bentuk bangunan
air, yaitu jaringan kanal, parit, kolam serta pulau buatan yang disusun
rapi yang dipastikan situs ini adalah buatan manusia. Bangunan air ini
terdiri atas kolam dan dua pulau berbentuk bujur sangkar dan empat
persegi panjang, serta jaringan kanal dengan luas areal meliputi 20
hektare. Di kawasan ini ditemukan banyak peninggalan purbakala yang
menunjukkan bahwa kawasan ini pernah menjadi pusat permukiman dan pusat
aktivitas manusia. Namun sebelumnya Soekmono berpendapat bahwa pusat
Sriwijaya terletak pada kawasan sehiliran Batang Hari, antara Muara
Sabak sampai ke Muara Tembesi (di Provinsi Jambi sekarang), dengan
catatan Malayu tidak di kawasan tersebut, jika Malayu pada kawasan
tersebut, ia cendrung kepada pendapat Moens, yang sebelumnya juga telah
berpendapat bahwa letak dari pusat kerajaan Sriwijaya berada pada
kawasan Candi Muara Takus (Provinsi Riau sekarang), dengan asumsi
petunjuk arah perjalanan dalam catatan I Tsing, serta hal ini dapat juga
dikaitkan dengan berita tentang pembangunan candi yang dipersembahkan
oleh raja Sriwijaya (Se li chu la wu ni fu ma tian hwa atau Sri
Cudamaniwarmadewa) tahun 1003 kepada kaisar Cina yang dinamakan cheng
tien wan shou (Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak
di Muara Takus). Namun yang pasti pada masa penaklukan oleh Rajendra
Chola I, berdasarkan Prasasti Tanjore, Sriwijaya telah beribukota di
Kadaram (Kedah sekarang).
Belum banyak bukti fisik mengenai
Sriwijaya yang dapat ditemukan. Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan
dan merupakan negara bahari, namun kerajaan ini tidak memperluas
kekuasaannya di luar wilayah kepulauan Asia Tenggara, dengan
pengecualian berkontribusi untuk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di
barat. Beberapa ahli masih memperdebatkan kawasan yang menjadi pusat
pemerintahan Sriwijaya. Selain itu kemungkinan kerajaan ini biasa
memindahkan pusat pemerintahannya, namun kawasan yang menjadi ibukota
tetap diperintah secara langsung oleh penguasa, sedangkan daerah
pendukungnya diperintah oleh datu setempat.
Kemaharajaan
Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I Tsing, dari
prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di diketahui imperium ini di bawah
kepemimpinan Dapunta Hyang. Diketahui, Prasasti Kedukan Bukit adalah
prasasti tertua yang ditulis dalam bahasa Melayu. Para ahli berpendapat
bahwa prasasti ini mengadaptasi ortografi India untuk menulis prasasti
ini. Di abad ke-7 ini, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua
kerajaan yaitu Malayu dan Kedah menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya.
Berdasarkan Prasasti Kota Kapur yang berangka tahun 686 ditemukan di
Pulau Bangka, kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera,
Pulau Bangka dan Belitung, hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan
bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer untuk
menghukumBhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini
bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing
(Kalingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan besar akibat serangan
Sriwijaya. Kemungkinan yang dimaksud dengan Bhumi Jawa adalah
Tarumanegara. Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur
perdagangan maritim diSelat Malaka, Selat Sunda, Laut China Selatan,
Laut Jawa, dan Selat Karimata.
Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan
Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya mengendalikan dua pusat
perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi, ditemukan
reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Di abad ke-7,
pelabuhan Champa di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak
pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, Maharaja
Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di
Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8
berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas
Kamboja, sampai raja Khmer Jayawarman II, pendiri kemaharajaan Khmer,
memutuskan hubungan dengan Sriwijaya pada abad yang sama. Di akhir abad
ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing
berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula
wangsa Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa di sana. Di
abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan.
Di masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah
utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.
Setelah
Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada
periode 792 sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis,
Samaratungga tidak melakukan ekspansi militer, tetapi lebih memilih
untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa
kepemimpinannya, ia membangun Candi Borobudur di Jawa Tengah yang
selesai tahun 825.
Sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana,
Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di
Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I Tsing, yang melakukan
kunjungan ke Sumatera dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda,
India, pada tahun 671 dan 695, I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya
menjadi rumah bagi sarjana Budha sehingga menjadi pusat pembelajaran
agama Buddha. Selain berita diatas, terdapat berita yang dibawakan oleh I
Tsing, dinyatakan bahwa terdapat 1000 orang pendeta yang belajar agama
Budha pada Sakyakirti, seorang pendeta terkenal di Sriwijaya.
Terdapat
lebih dari 1000 pandita Buddhis di Sriwijaya yang belajar serta
mempraktikkan Dharma dengan baik. Mereka menganalisa dan mempelajari
semua topik ajaran sebagaimana yang ada di India; vinaya dan
ritual-ritual mereka tidaklah berbeda sama sekali [dengan yang ada di
India]. Apabila seseorang pandita Tiongkok akan pergi ke Universitas
Nalanda di India untuk mendengar dan mempelajari naskah-naskah Dharma
auutentik, ia sebaiknya tinggal di Sriwijaya dalam kurun waktu 1 atau 2
tahun untuk mempraktikkan vinaya dan bahasa Sansekerta dengan tepat.
Pengunjung
yang datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di
pesisir kerajaan. Selain itu ajaran Budha aliran Budha Hinayana dan
Budha Mahayanajuga turut berkembang di Sriwijaya. Menjelang akhir abad
ke-10, Atiśa, seorang sarjana Budha asal Benggala yang berperan dalam
mengembangkan Budha Vajrayana di Tibet dalam kertas kerjanya
Durbodhāloka menyebutkan ditulis pada masa pemerintahan Sri Cudamani
Warmadewa penguasaSriwijayanagara di Malayagiri di Suvarnadvipa.
Kerajaan
Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya Hindu
kemudian diikuti pula oleh agama Budha. Peranannya dalam agama Budha
dibuktikannya dengan membangun tempat pemujaan agama Budha di
Ligor,Thailand. Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melalui
perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke-7 hingga abad ke-9,
sehingga secara langsung turut serta mengembangkan bahasa Melayu beserta
kebudayaannya di Nusantara.
Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya
yang termahsyur sebagai bandar pusat perdagangan di Asia Tenggara,
tentunya menarik minat para pedagang dan ulama muslim dari Timur Tengah,
sehingga beberapa kerajaan yang semula merupakan bagian dari Sriwijaya,
kemudian tumbuh menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera
kelak, disaat melemahnya pengaruh Sriwijaya.
Berdasarkan
berbagai sumber sejarah, sebuah masyarakat yang kompleks dan
kosmopolitan yang sangat dipengaruhi alam pikiran Budha Wajrayana
digambarkan bersemi di ibukota Sriwijaya. Beberapa prasasti Siddhayatra
abad ke-7 seperti Prasasti Talang Tuo menggambarkan ritual Budha untuk
memberkati peristiwa penuh berkah yaitu peresmian taman Sriksetra,
anugerah Maharaja Sriwijaya untuk rakyatnya. Prasasti Telaga Batu
menggambarkan kerumitan dan tingkatan jabatan pejabat kerajaan,
sementara Prasasti Kota Kapur menyebutkan keperkasaan balatentara
Sriwijaya atas Jawa. Semua prasasti ini menggunakan bahasa Melayu Kuno,
leluhur bahasa Melayu dan bahasa Indonesia modern.
Sejak abad
ke-7, bahasa Melayu kuno telah digunakan di Nusantara. Ditandai dengan
ditemukannya berbagai prasasti Sriwijaya dan beberapa prasasti berbahasa
Melayu Kuno di tempat lain, seperti yang ditemukan di Pulau Jawa.
Hubungan dagang yang dilakukan berbagai suku bangsa Nusantara menjadi
wahana penyebaran bahasa Melayu, karena bahasa ini menjadi alat
komunikasi bagi kaum pedagang. Sejak saat itu, bahasa Melayu menjadi lingua franca dan digunakan secara meluas oleh banyak penutur di kepulauan Nusantara.
Meskipun
disebut memiliki kekuatan ekonomi dan keperkasaan militer, Sriwijaya
hanya meninggalkan sedikit tinggalan purbakala di jantung negerinya di
Sumatera. Sangat berbeda dengan episode Sriwijaya di Jawa Tengah saat
kepemimpinan wangsa Syailendrayang banyak membangun monumen besar;
seperti Candi Kalasan, Candi Sewu, dan Borobudur. Candi-candi Budha yang
berasal dari masa Sriwijaya di Sumatera antara lain Candi Muaro Jambi,
Candi Muara Takus, dan Biaro Bahal. Akan tetapi tidak seperti candi
periode Jawa Tengah yang terbuat dari batu andesit, candi di Sumatera
terbuat dari bata merah.
Beberapa arca-arca bersifat Budhisme,
seperti berbagai arca Budha yang ditemukan di Bukit Seguntang,
Palembang, dan arca-arca Bodhisatwa Awalokiteswara dari Jambi, Bidor,
Perak dan Chaiya, dan arca Maitreya dari Komering, Sumatera Selatan.
Semua arca-arca ini menampilkan keanggunan dan langgam yang sama yang
disebut "Seni Sriwijaya" atau "Langgam/Gaya Sriwijaya" yang
memperlihatkan kemiripan — mungkin diilhami — oleh langgam Amarawati
India dan langgam Syailendra Jawa (sekitar abad ke-8 sampai ke-9).
Di dunia
perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara India
dan Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas Selat Malaka dan Selat
Sunda. Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditas
seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas,
dan timah, yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India.
Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli
kesetiaan dari vassal-vassal-nya di seluruh Asia Tenggara. Dengan
berperan sebagai entreport atau pelabuhan utama di Asia Tenggara, dengan
mendapatkan restu, persetujuan, dan perlindungan dari Kaisar China
untuk dapat berdagang dengan Tiongkok, Sriwijaya senantiasa mengelola
jejaring perdagangan bahari dan menguasi urat nadi pelayaran antara
Tiongkok dan India.
Karena alasan itulah Sriwijaya harus terus
menjaga dominasi perdagangannya dengan selalu mengawasi — dan jika perlu
— memerangi pelabuhan pesaing di negara jirannya. Keperluan untuk
menjaga monopoli perdagangan inilah yang mendorong Sriwijaya menggelar
ekspedisi militer untuk menaklukkan bandar pelabuhan pesaing di kawasan
sekitarnya dan menyerap mereka ke dalam mandala Sriwijaya. Bandar Malayu
di Jambi, Kota Kapur di Pulau Bangka, Tarumanagara dan pelabuhan Sunda
di Jawa Barat, Kalingga di Jawa Tengah, dan bandar Kedah dan Chaiya di
Semenanjung Melaya adalah beberapa bandar pelabuhan yang ditaklukan dan
diserap kedalam lingkup pengaruh Sriwijaya. Disebutkan dalam catatan
sejarah Champa adanya serangkaian serbuan angkatan laut yang berasal
dari Jawa terhadap beberapa pelabuhan di Champa dan Kamboja. Mungkin
angkatan laut penyerbu yang dimaksud adalah armada Sriwijaya, karena
saat itu wangsa Sailendra di Jawa adalah bagian dari mandala Sriwijaya.
Hal ini merupakan upaya Sriwijaya untuk menjamin monopoli perdagangan
laut di Asia Tenggara dengan menggempur bandar pelabuhan pesaingnya.
Sriwijaya juga pernah berjaya dalam hal perdagangan sedari tahun
670hingga 1025 M.
Kejayaan bahari Sriwijaya terekam di relief
Borobudur yaitu menggambarkan Kapal Borobudur, kapal kayu bercadik ganda
dan bertiang layar yang melayari lautan Nusantara sekitar abad ke-8
Masehi. Fungsi cadik ini adalah untuk menyeimbangkan dan menstabilkan
perahu. Cadik tunggal atau cadik ganda adalah ciri khas perahu bangsa
Austronesia dan perahu bercadik inilah yang membawa bangsa Austronesia
berlayar di seantero Asia Tenggara, Oseania, dan Samudra Hindia. Kapal
layar bercadik yang diabadikan dalam relief Borobudur mungkin adalah
jenis kapal yang digunakan armada Sailendra dan Sriwijaya dalam
pelayaran antarpulaunya, kemaharajaan bahari yang menguasai kawasan pada
kurun abad ke-7 hingga ke-13 masehi.
Selain menjalin hubungan
dagang dengan India dan Tiongkok, Sriwijaya juga menjalin perdagangan
dengan tanah Arab. Kemungkinan utusan Maharaja Sri Indrawarmanyang
mengantarkan surat kepada khalifah Umar bin Abdul-Aziz dari Bani
Umayyahtahun 718, kembali ke Sriwijaya dengan membawa hadiah Zanji
(budak wanita berkulit hitam), dan kemudian dari kronik Tiongkok
disebutkan Shih-li-fo-shih dengan rajanyaShih-li-t-'o-pa-mo (Sri
Indrawarman) pada tahun 724 mengirimkan hadiah untuk kaisar Cina, berupa
ts'engchi (bermaksud sama dengan Zanji dalam bahasa Arab).
Pada
paruh pertama abad ke-10, di antara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya
Dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama
Fujian, kerajaan Mindan kerajaan Nan Han dengan negeri kayanya
Guangdong. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari
perdagangan ini. Pada masa inilah diperkirakan rakyat Sriwijaya mulai
mengenal buah semangka (Citrullus lanatus (Thunb.) Matsum. & Nakai),
yang masuk melalui perdagangan mereka.
Upaya Sriwijaya
untuk menjamin dominasi perdagangan bahari di Asia Tenggara berjalan
seiring dengan perluasan Sriwijaya sebagai sebuah kemaharajaan bahari
atau thalasokrasi. Dengan menaklukkan bandar pelabuhan negara jiran yang
berpotensi sebagai pesaingnya, Sriwijaya secara otomatis juga
melebarkan pengaruh dan wilayah kekuasaannya di kawasan. Sebagai
kemaharajaan bahari, pengaruh Sriwijaya jarang masuk hingga jauh di
wilayah pedalaman. Sriwijaya kebanyakan menerapkan kedaulatannya di
kawasan pesisir pantai dan kawasan sungai besar yang dapat dijangkau
armada perahu angkatan lautnya di wilayah Nusantara, dengan pengecualian
Pulau Madagaskar. Diduga penduduk yang berasal dari Sriwijaya telah
mengkoloni dan membangun populasi di Pulau Madagaskar yang terletak
3.300 mil atau 8.000 kilometer di sebelah barat di seberang Samudra
Hindia.
Sebuah penelitian yang dipublikasikan oleh jurnal Proceedings of The Royal Society,
bahwa sebagian nenek moyang penduduk Madagaskar adalah orang Indonesia.
Para peneliti meyakini mereka adalah pemukim asal Kerajaan Sriwijaya.
Migrasi ke Madagaskar diperkirakan terjadi sekitar kurun tahun 830 M.
Berdasarkan data DNA mitokondria, suku pribumi Malagasy dapat merunut
silsilah mereka kepada 30 nenek moyang perempuan perintis tiba dari
Indonesia 1200 tahun yang lalu. Bahasa Malagasy mengandung kata serapan
dari bahasa Sanskerta dengan modifikasi linguistik melalui bahasa Jawa
dan bahasa Melayu, hal ini merupakan sebuah petunjuk bahwa penduduk
Madagaskar dikoloni oleh penduduk yang berasal dari Sriwijaya. Periode
kolonisasi Madagaskar bersamaan dengan kurun ketika Sriwijaya
mengembangkan jaringan perdagangan bahari di seantero Nusantara dan
Samudra Hindia.
Munculnya keterkaitan antara Sriwijaya dengan
dinasti Sailendra di mulai karena adanya nama Śailendravamśa pada
beberapa prasasti di antaranya pada prasasti Kalasan di pulau Jawa,
prasasti Ligor di selatan Thailand, dan prasasti Nalanda di India.
Sementara pada prasasti Sojomerto dijumpai nama Dapunta Selendra. Karena
prasasti Sojomerto ditulis dalam bahasa Melayu dn bahasa Melayu umumnya
digunakan pada prasasti-prasasti di Sumatera maka diduga wangsa
Sailendra berasal dari Sumatera, Walaupun asal usul bahasa melayu ini
masih menunggu penelitian sampai sekarang.
Majumdar berpendapat
dinasti Sailendra ini terdapat di Sriwijaya (Suwarnadwipa) dan Medang
(Jawa), keduanya berasal dari Kalinga di selatan India. Kemudian Moens
menambahkan kedatanganDapunta Hyang ke Palembang, menyebabkan salah satu
keluarga dalam dinasti ini pindah ke Jawa. SementaraPoerbatjaraka
berpendapat bahwa dinasti ini berasal dari Nusantara, didasarkan atas
Carita Parahiyangan kemudian dikaitkan dengan beberapa prasasti lain di
Jawa yang berbahasa Melayu Kuna diantaranya Prasasti Sojomerto. Untuk
memperkuat posisinya atas penguasaan kawasan Asia Tenggara, Sriwijaya
menjalin hubungan diplomasi dengan kekaisaran China, dan secara teratur
mengantarkan utusan beserta upeti.
Sejarawan S.Q. Fatimi
menyebutkan bahwa pada tahun 100 Hijriyah (718 M), seorang maharaja
Sriwijaya (diperkirakan adalah Sri Indrawarman) mengirimkan sepucuk
surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Kekhalifahan Umayyah,
yang berisi permintaan kepada khalifah untuk mengirimkan ulama yang
dapat menjelaskan ajaran dan hukum Islam kepadanya. Surat itu dikutip
dalam Al-'Iqd Al-Farid karya Ibnu Abdu Rabbih (sastrawanKordoba,
Spanyol), dan dengan redaksi sedikit berbeda dalam Al-Nujum Az-Zahirah
fi Muluk Misr wa Al-Qahirah karya Ibnu Tagribirdi (sastrawan Kairo,
Mesir).
Peristiwa ini membuktikan bahwa Sriwijaya telah menjalin
hubungan diplomatik dengan dunia Islam atau dunia Arab. Meskipun
demikian surat ini bukanlah berarti bahwa raja Sriwijaya telah memeluk
agama Islam, melainkan hanya menunjukkan hasrat sang raja untuk mengenal
dan mempelajari berbagai hukum, budaya, dan adat-istiadat dari berbagai
rekan perniagaan dan peradaban yang dikenal Sriwijaya saat itu; yakni
Tiongkok, India, dan Timur Tengah.
Pada masa awal, Kerajaan Khmer
merupakan daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan mengklaim bahwa
Chaiya, di Propinsi Surat Thani, Thailand Selatan, sebagai ibukota
kerajaan tersebut. Pengaruh Sriwijaya nampak pada bangunan Pagoda Borom
That yang bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi
menjadi tiga kota, yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan
Khirirat Nikhom.
Seperti disebutkan sebelumnya, Sriwijaya di
Sumatera meluaskan wilayah dengan perpindahan Wangsa Sailendra ke Jawa.
Pada kurun waktu tertentu wangsa Sailendra sebagai anggota mandala
Sriwijaya berkuasa atas Sriwijaya dan Jawa. Maka Wangsa Sailendra
berkuasa sekaligus atas Sriwijaya dan Kerajaan Medang, yaitu Sumatera
dan Jawa. Akan tetapi akibat pertikaian suksesi singgasana Sailendra di
Jawa antara Balaputradewa melawan Rakai Pikatan dan Pramodawardhani,
hubungan antara Sriwijaya dan Medang memburuk. Balaputradewa kembali ke
Sriwijaya dan akhirnya berkuasa di Sriwijaya, dan permusuhan ini
diwariskan hingga beberapa generasi berikutnya. Dalam prasasti Nalanda
yang bertarikh 860 Balaputra menegaskan asal-usulnya sebagai keturunan
raja Sailendra di Jawa sekaligus cucu Sri Dharmasetu raja Sriwijaya.
Dengan kata lain ia mengadukan kepada raja Dewapaladewa, raja Pala di
India, bahwa haknya menjadi raja Jawa dirampas Rakai Pikatan. Persaingan
antara Sriwijaya di Sumatera dan Medang di Jawa ini kian memanas ketika
rajaDharmawangsa Teguh menyerang Palembang pada tahun 990, tindakan
yang kemudian dibalas dengan penghancuran Medang pada tahun 1006 oleh
Raja Wurawari (sebagai sekutu Sriwijaya di Jawa) atas dorongan
Sriwijaya.
Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala
di Benggala, pada prasasti Nalanda berangka 860 mencatat bahwa raja
Balaputradewa mendedikasikan sebuah biara kepada Universitas Nalanda.
Relasi dengan Dinasti Chola di selatan India juga cukup baik. Dari
prasasti Leiden disebutkan raja Sriwijaya di Kataha Sri
Mara-Vijayottunggawarman telah membangun sebuah vihara yang dinamakan
dengan Vihara Culamanivarmma, namun menjadi buruk setelah Rajendra Chola
I naik tahta yang melakukan penyerangan pada abad ke-11. Kemudian
hubungan ini kembali membaik pada masaKulothunga Chola I, di mana raja
Sriwijaya di Kadaram mengirimkan utusan yang meminta dikeluarkannya
pengumuman pembebasan cukai pada kawasan sekitar Vihara Culamanivarmma
tersebut. Namun pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian
dari dinasti Chola. Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa Kulothunga Chola I
(Ti-hua-ka-lo) sebagai raja San-fo-ts'i, membantu perbaikan candi dekat
Kanton pada tahun 1079. Pada masa dinasti Song candi ini disebut dengan
nama Tien Ching Kuan, dan pada masa dinasti Yuan disebut dengan nama
Yuan Miau Kwan.
Kemaharajaan Sriwijaya bercirikan kerajaan
maritim. Mengandalkan hegemoni pada kekuatan armada lautnya dalam
menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan, menguasai dan membangun
beberapa kawasan strategis sebagai pangkalan armadanya dalam mengawasi,
melindungi kapal-kapal dagang, memungut cukai, serta untuk menjaga
wilayah kedaulatan dan kekuasaanya.
Dari catatan sejarah dan
bukti arkeologi, pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan kolonisasi di
hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain: Sumatera,
Jawa, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Filipina.
Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai
pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang
mengenakan bea dan cukai atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya
mengumpulkan kekayaannya dari jasa pelabuhan dan gudang perdagangan yang
melayani pasar Tiongkok, dan India.
Berdasarkan sumber catatan
sejarah dari Arab, Sriwijaya disebut dengan nama Sribuza. Pada tahun 955
M, Al Masudi, seorang musafir (pengelana) sekaligus sejarawan Arab
klasik menulis catatan tentang Sriwijaya. Dalam catatan itu, digambarkan
Sriwijaya adalah sebuah kerajaan besar yang kaya raya, dengan tentara
yang sangat banyak. Disebutkan kapal yang tercepat dalam waktu dua tahun
pun tidak cukup untuk mengelilingi seluruh pulau wilayahnya. Hasil bumi
Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala,
kapulaga, gambir dan beberapa hasil bumi lainnya.
Catatan lain
menuliskan bahwa Sriwijaya maju dalam bidang agraris. Ini disimpulkan
dari seorang ahli dari Bangsa Persia yang bernama Abu Zaid Hasan yang
mendapat keterangan dari Sujaimana, seorang pedagang Arab. Abu Zaid
menulis bahwasanya Kerajaan Zabaj (Sriwijaya -sebutan Sriwijaya oleh
bangsa Arab pada masa itu-) memiliki tanah yang subur dan kekuasaaan
yang luas hingga ke seberang lautan.
Sriwijaya menguasai jalur
perdagangan maritim di Asia Tenggara sepanjang abad ke-10, akan tetapi
pada akhir abad iniKerajaan Medang di Jawa Timur tumbuh menjadi kekuatan
bahari baru dan mulai menantang dominasi Sriwijaya. Berita Tiongkok
dari Dinasti Song menyebut Kerajaan Sriwijaya di Sumatra dengan nama
San-fo-tsi, sedangkan Kerajaan Medangdi Jawa dengan nama Cho-po.
Dikisahkan bahwa, San-fo-tsi dan Cho-po terlibat persaingan untuk
menguasai Asia Tenggara. Kedua negeri itu saling mengirim duta besar ke
Tiongkok. Utusan San-fo-tsi yang berangkat tahun 988 tertahan di
pelabuhan Kanton ketika hendak pulang, karena negerinya diserang oleh
balatentara Jawa. Serangan dari Jawa ini diduga berlangsung sekitar
tahun 990-an, yaitu antara tahun 988 dan 992 pada masa pemerintahan Sri
Cudamani Warmadewa.
Pada musim semi tahun 992 duta Sriwijaya
tersebut mencoba pulang namun kembali tertahan di Champa karena
negerinya belum aman. Ia meminta kaisar Song agar Tiongkok memberi
perlindungan kepada San-fo-tsi. Utusan Jawa juga tiba di Tiongkok tahun
992. Ia dikirim oleh rajanya yang naik takhta tahun 991. Raja baru Jawa
tersebut adalah Dharmawangsa Teguh.
Kerajaan Medang berhasil
merebut Palembang pada tahun 992 untuk sementara waktu, namun kemudian
pasukan Medang berhasil dipukul mundur oleh pasukan Sriwijaya. Prasasti
Hujung Langit tahun 997 kembali menyebutkan adanya serangan Jawa
terhadap Sumatera. Rangkaian serangan dari Jawa ini pada akhirnya gagal
karena Jawa tidak berhasil membangun pijakan di Sumatera. Menguasai ibu
kota di Palembang tidak cukup karena pada hakikatnya kekuasaan dan
kekuatan mandala Sriwijaya tersebar di beberapa bandar pelabuhan di
kawasan Selat Malaka. Maharaja Sriwijaya, Sri Cudamani Warmadewa,
berhasil lolos keluar dari ibu kota dan berkeliling menghimpun kekuatan
dan bala bantuan dari sekutu dan raja-raja bawahannya untuk memukul
mundur tentara Jawa. Sriwijaya memperlihatkan kegigihan persekutuan
mandalanya, bertahan dan berjaya memukul mundur angkatan laut Jawa.
Sri
Cudamani Warmadewa kembali memperlihatkan kecakapan diplomasinya,
memenangi dukungan Tiongkok dengan cara merebut hati Kaisarnya. Pada
tahun 1003, ia mengirimkan utusan ke Tiongkok dan mengabarkan bahwa di
negerinya telah selesai dibangun sebuah candi Buddha yang didedikasikan
untuk mendoakan agar Kaisar Tiongkok panjang usia. Kaisar Tiongkok yang
berbesar hati dengan persembahan itu menamai candi itu cheng tien wan
shou dan menganugerahkan genta yang akan dipasang di candi itu. (Candi
Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus).
Serangan
dari Medang ini membuka mata Sriwijaya betapa berbahayanya ancaman
Jawa, maka Maharaja Sriwijaya pun menyusun siasat balasan dan berusaha
menghancurkan Kerajaan Medang. Sriwijaya disebut-sebut berperan dalam
menghancurkan Kerajaan Medang di Jawa. Dalam prasasti Pucangan
disebutkan sebuah peristiwa Mahapralaya, yaitu peristiwa hancurnya
istana Medang di Jawa Timur, di mana Haji Wurawari dari Lwaram yang
merupakan raja bawahan Sriwijaya, pada tahun 1006 atau 1016 menyerang
dan menyebabkan terbunuhnya raja Medang terakhir Dharmawangsa Teguh.
Tahun
1017 dan 1025, Rajendra Chola I, raja dari dinasti Chola di Koromandel,
India Selatan, mengirim ekspedisi laut untuk menyerang Sriwijaya.
Berdasarkan Prasasti Tanjore bertarikh 1030, Kerajaan Chola telah
menaklukan daerah-daerah koloni Sriwijaya, seperti wilayah Nikobar dan
sekaligus berhasil menawan raja Sriwijaya yang berkuasa waktu itu
Sangrama-Vijayottunggawarman. Selama beberapa dekade berikutnya, seluruh
imperium Sriwijaya telah berada dalam pengaruh dinasti Chola. Meskipun
demikian Rajendra Chola I tetap memberikan peluang kepada raja-raja yang
ditaklukannya untuk tetap berkuasa selama tetap tunduk kepadanya. Hal
ini dapat dikaitkan dengan adanya berita utusan San-fo-ts'i ke Cina
tahun 1028.
Faktor lain kemunduran Sriwijaya adalah faktor alam.
Karena adanya pengendapan lumpur di Sungai Musi dan beberapa anak sungai
lainnya, sehingga kapal-kapal dagang yang tiba di Palembang semakin
berkurang. Akibatnya, Kota Palembang semakin menjauh dari laut dan
menjadi tidak strategis. Akibat kapal dagang yang datang semakin
berkurang, pajak berkurang dan memperlemah ekonomi dan posisi Sriwijaya.
Kerajaan
Tanjungpura dan Nan Sarunai di Kalimantan adalah kerajaan yang sezaman
dengan Sriwijaya, namun Kerajaan Tanjungpura disebutkan dikelola oleh
pelarian orang Melayu Sriwijaya, yang ketika pada saat itu Sriwijaya
diserangKerajaan Chola mereka bermigrasi ke Kalimantan Selatan.
Namun
pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari dinasti
Chola. Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa pada tahun 1079, Kulothunga
Chola I (Ti-hua-ka-lo) raja dinasti Chola disebut juga sebagai raja
San-fo-ts'i, yang kemudian mengirimkan utusan untuk membantu perbaikan
candi dekat Kanton. Selanjutnya dalam berita Cina yang berjudul Sung Hui
Yaodisebutkan bahwa kerajaan San-fo-tsi pada tahun 1082 masih
mengirimkan utusan pada masa Cina di bawah pemerintahan Kaisar Yuan
Fong. Duta besar tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan
San-fo-tsi, yang merupakan surat dari putri raja yang diserahi urusan
negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia,
dan 13 potong pakaian. Kemudian juga mengirimkan utusan berikutnya pada
tahun 1088. Pengaruh invasi Rajendra Chola I, terhadap hegemoni
Sriwijaya atas raja-raja bawahannya melemah. Beberapa daerah taklukan
melepaskan diri, sampai muncul Dharmasraya dan Pagaruyung sebagai
kekuatan baru yang kemudian menguasai kembali wilayah jajahan Sriwijaya
mulai dari kawasan Semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Jawa bagian
barat.
Pada tahun 1079 dan 1088, catatan Cina menunjukkan bahwa
Sriwijaya mengirimkan duta besar pada Cina. Khususnya pada tahun 1079,
masing-masing duta besar tersebut mengunjungi Cina.[59] Ini menunjukkan
bahwa ibu kota Sriwijaya selalu bergeser dari satu kota maupun kota
lainnya selama periode tersebut. Ekspedisi Chola mengubah jalur
perdagangan dan melemahkan Palembang, yang memungkinkan Jambi untuk
mengambil kepemimpinan Sriwijaya padaabad ke-11.
Berdasarkan
sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun 1178,
Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua
kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-ts'i dan Cho-po (Jawa).
Di Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu,
sedangkan rakyat San-fo-ts'i memeluk Budha, dan memiliki 15 daerah
bawahan yang meliputi; Si-lan (Kamboja), Tan-ma-ling (Tambralingga,
Ligor, selatan Thailand), Kia-lo-hi (Grahi, Chaiya sekarang, selatan
Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Kilantan (Kelantan), Pong-fong
(Pahang),Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun daerah
Terengganu sekarang), Ji-lo-t'ing (Cherating, pantai timur semenanjung
malaya), Ts'ien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-t'a
(Sungai Paka, pantai timur Semenanjung Malaya), Lan-wu-li (Lamuri di
Aceh), Pa-lin-fong (Palembang), Kien-pi (Jambi), dan Sin-t'o (Sunda).
Namun,
istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1178 tidak lagi identik dengan
Sriwijaya, melainkan telah identik dengan Dharmasraya. Dari daftar 15
negeri bawahan San-fo-tsi tersebut, ternyata adalah wilayah jajahan
Kerajaan Dharmasraya. Walaupun sumber Tiongkok tetap menyebut San-fo-tsi
sebagai kerajaan yang berada di kawasan Laut Cina Selatan. Hal ini
karena dalam Pararaton telah disebutkan Malayu. Kitab ini mengisahkan
bahwa Kertanagara raja Singhasari, mengirim sebuah ekspedisi Pamalayu
atau Pamalayu, dan kemudian menghadiahkan Arca Amoghapasa kepada raja
Melayu, Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa di Dharmasraya sebagaimana
yang tertulis pada prasasti Padang Roco. Peristiwa ini kemudian
dikaitkan dengan manuskrip yang terdapat pada prasasti Grahi. Begitu
juga dalam Nagarakretagama yang menguraikan tentang daerah jajahan
Majapahit, juga sudah tidak menyebutkan lagi nama Sriwijaya untuk
kawasan yang sebelumnya merupakan kawasan Sriwijaya.